Dia Telah Mengangkat Derajat Kita


Jumat Agung, tugas perutusan Yesus di dunia sudah paripurna. Hidup Sang Anak Manusia harus ditutup dengan penderitaan yang luar biasa. Penyelesaian yang menyakitkan dan pengakhiran yang sangat tidak diharapkan semua manusia di bumi ini. Yohanes 19:30 menyebutkan demikian, sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepalaNya dan menyerahkan nyawaNya.

Sampai akhir hidupnya, tidak ada jabatan penting yang disandangnya. Tidak ada gelar yang luar biasa yang dimilikinya. Hanya gelar sebagai guru/ rabi. Itu pun dimiliki juga oleh banyak orang Yahudi lain yang telah belajar dan katam Kitab Suci Torah. Hal yang biasa saja.

Dia bukanlah anak orang kaya, terpandang, disegani. Dia orang yang sangat biasa, rakyat kecil biasa. Ayahnya hanyalah seorang tukang kayu. Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Kalau pun dia punya pengikut, Dia tidak bangga dengan banyaknya orang yang mengikutiNya. Bahkan sering menghindari saat dikejar-kejar mereka.

PelayananNya dihabiskan selama tiga tahun saja, pendek. Itu dilakukanNya setelah Dia selesai belajar kitab-kitab para nabi. Setelah itu Dia harus mengalami takdirNya; menyiapkan para penerus, mengajar banyak orang, menyembuhkan banyak orang, mengusir setan, ditangkap tentara, diadili sanhedrin, disiksa, dan disalibkan. Hidup yang sangat tidak menyenangkan.

Bukan untuk Bahagia
KisahNya menyadarkanku bahwa hidup ini bukan untuk mencari kebahagiaan seperti kata para filsuf Yunani. Apalagi untuk mencari kesenangan. Hidup juga bukan untuk mencapai kesuksesan seperti kata orang-orang tua zaman dulu, bahkan mungkin masih berlaku hingga sekarang.

Mengenang kisah hidupNya, makin paham rasanya bahwa hidup juga bukan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, jabatan setinggi-tingginya, apalagi untuk menjadi penguasa yang tiada tandingnya. Sebaliknya, Dia terhitung di antara para penjahat dan pemberontak.

Dia juga tidak membuat sebuah karya masterpiece dan berharap orang akan mengenang diriNya karena karya itu. Dia tidak menghendaki orang mengingatNya selama-lamanya karena telah mendirikan sebuah monumen atau membangun sinagoga apalagi Bait Allah, misalnya. Bahkan buku atau karya tulis pun tidak.

Dia hanya ingin dikenang saat Dia mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya supaya semua orang yang mengenangNya paham, tahu, dan mengerti bahwa Dia telah memberikan diriNya sehabis-habisnya menukar guling semua dosa umat manusia. Dia ingin agar semua manusia paham betul bahwa Allah sangat mencintai manusia.

KataNya lagi, seperti tertulis dalam kitab-kitab perjanjian baru, yang menjadi tujuan hidupNya hanyalah menjalankan kehendak BapaNya. Bukan kehendakNya sendiri. “..Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku,”kataNya. – Yohanes 8:42.

“…Sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepadaNya,”kataNya lagi seperti tertulis dalam Yohanes 8:29b.

Kok Berat
Menyadari ini, hati kecilku sebenarnya bergejolak. Bahkan mungkin agak menolak. Kok begitu, ya? Nggak enak banget. Menjalankan kehendak Allah Bapa kok berakhir dengan kesengsaraan? Kenapa hidup harus diakhiri dengan ketidakbahagiaan? Dan masih banyak pertanyaan bernada menggugat lainnya beruntun muncul dari hatiku yang belum berani menerima konsekuensi itu.

Tapi, saya sudah ‘terlanjur’ dibaptis dan menjadi muridNya. KataNya,“Setiap orang yang tidak memikul salibnya, tidak layak mengikuti Aku.” Aduh…duh…duh..duh…Ini gimana? Kok berat ya? Apakah tidak ada pilihan lain? Apakah tidak ada cara lain yang lebih mudah, lebih nyaman, lebih santai?

Malah ajaran-ajaranNya lebih sadis lagi. Masak Dia pernah bilang,”Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” – Matius 5:44. Apalagi ini?! Satu hal yang tidak masuk akal. Kita diminta mengasihi musuh? Sesuatu yang enah bagi kebanyakan orang.

Kepada mereka yang telah berbuat salah kepada kita, Dia juga pernah bilang (agar kita mengampuni sebanyak ini),”Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22) Haduh, ini gila!

Saya jadi paham kenapa Dia pernah bilang,“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.”– Matius 7:13-14.

TuntutanNya luar biasa, standarnya tinggi. Bahkan Dia pernah bilang di Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Saya rasa, apa yang diinginkanNya untuk kita semua bukan sesuatu yang tidak bisa dicapai. Buat apa Dia menyampaikan harapan itu kalau kita semua tidak mampu untuk mencapainya. Dia tahu kita makhluk spiritual, mahkluk rohani yang sejak dari awal mula sudah ditakdirkan untuk selalu bersatu dengan Allah Bapa yang Maha Suci dan Sempurna.

Santo Thomas Aquinas malah mengatakan demikian,“Citra Allah selalu hadir dalam jiwa, apakah citra itu usang (tak terpakai) dan jadi mendung sampai hampir lenyap atau apakah digelapkan dan dijelekkan seperti halnya pada para pendosa; atau apakah jernih dan indah seperti halnya pada orang jujur.” (S.Th.,Ia,q..93,a.8,ad 3).

Kita manusia, mau tidak mau selalu ditarik ke arah Tuhan Allah sebagai tujuan terakhir. Gunung pertemuan, persatuan dengan yang ilahi itu tergores dalam jiwa kita, kata Thomas.

Jalan Kembali
Maka, kehadiran Yesus Sang Anak Manusia ke dunia dan kisah hidupNya yang luar biasa itu menjadi cerminan, pengingat sekaligus mengangkat (dengan sendirinya) derajat kita/manusia sebagai Citra Allah (Imago Dei). Semua tuntutan, ajaranNya yang terkesan ‘sadis’ itu diungkapkanNya supaya kita paham bahwa itulah jalannya, jalan kembali kita sebagai citra Allah.

Meskipun Martin Luther, sang profesor teologi yang membawa gerakan protestanisme itu mengatakan bahwa dosa kita telah menghancurkan Imago Dei sehingga citra ilahi dalam diri kita tidak ada lagi atau terputus, namun ini tidaklah tepat.

Dosa dan kebodohan mungkin dapat menggelapkan hidup manusia, tetapi tidak bisa menghancurkan derajat Imago Dei ini. Dan kehadiran Yesus-lah yang mengembalikan derajat dan hubungan kita dengan Bapa di Sorga menjadi seperti semula.

2 comments

Leave a comment