Malam Itu, Yesus Sangat Ketakutan


Malam itu, Yesus sangat ketakutan. Dalam kengerian, Dia minta murid-muridNya menemaniNya berdoa di sebuah taman yang di dalamnya terdapat tempat untuk pengirikan buah-buah zaitun, Taman Getsemani sebutannya. Getsemani (Yunani: γεθσημανί – GETHSÊMANI, dari kata Aram : “GAT-SYEMEN,” ‘perasan minyak’), yaitu nama ‘taman/ kebun’ (Yunani: κῆπος – KÊPOS, Yohanes 18:1), di timur Yerusalem, seberang lembah Kidron dekat Bukit Zaitun (Matius 26:30). Getsemani adalah kebun/ taman yang berada dekat Bukit Zaitun (Lukas 22:39; Yohanes 18:1) tempat Yesus ditangkap (Markus 14:32 dst).

Di situ, Yesus merasakan kepedihan luar biasa. Matius 26:38 mencatatnya demikian. Lalu kataNya kepada mereka (para murid): “HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggalah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” Kepedihan itu bagai buah-buah zaitun yang diperas. Dari tradisi diketahui, orang Yahudi menggunakan tempat pengirikan itu, untuk memeras zaitun-zaitun yang sudah matang, sehabis-habisnya hingga minyaknya keluar semua dan bisa digunakan untuk keperluan apa saja. Mungkin pemilihan tempat ini ada kaitannya dengan apa yang dialami Yesus. Di tempat ini pula, Yesus sudah merasakan aura penderitaan itu. Dirinya seperti diperas habis untuk diambil minyak/ sari hidupNya.

Maka, kengerian itu membuatNya berani untuk tawar menawar dengan Allah Bapa di sorga atas apa yang akan menimpaNya. Dia pun berdoa : “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Ia merasa benar-benar takut, ngeri, dan tidak berani, juga sendirian. Murid-muridNya malah tertidur, membuat duka itu makin mencekam. Seolah tidak ada siapa pun yang mendukungNya. Dia seperti ditinggalkan, tidak dipedulikan. Mungkin merasa jengkel, kecewa bercampur takut yang luar biasa. Maka, sekali lagi Dia pun berdoa dengan kalimat yang sama.

Dan kejadian yang sama berulang lagi. Murid-muridNya masih tertidur. Dan Yesus untuk ketiga kalinya meminta BapaNya dengan doa yang sama. Dia ingin kalau bisa penderitaan ini tidak perlu dijalaniNya. Tapi, Dia tetap menyerahkan semua kepada BapaNya. Dan Bapa tetap seperti pada rencana semula. Dia harus menderita dan mati disalib. Titik.

Yesus pun menjalaninya.

Tiga kali mengatakan atau berdoa dengan permintaan yang sama itu menandakan permintaan yang sangat serius. Sama ketika Petrus mengkhianatiNya. Itu juga sebuah pengkhianatan serius. Demikian pula ketika Yesus menanyakan apakah Petrus mencintaiNya, itu pun ditanyakan sampai tiga kali.

Angka tiga menunjukkan keseriusan tingkat tinggi. Angka tiga ini menjadi penanda bahwa Yesus sedang dalam situasi yang tidak biasa. Doanya dikabulkan Tuhan dan malaikat pun turun dari langit menampakkan diri untuk memberi kekuatan padaNya, tertulis dalam Lukas 22:43 ( Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya).

Lukas juga mencatat, ketakutan Yesus itu hingga membuat keringat yang mengalir keluar dari tubuhNya seperti titik-titik darah. Lukas 22:44 – Ia sangat ketakutan dan makin besungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.

Kegalauan Yesus menjadi-jadi malam itu. Dia hendak menolak takdir yang sudah digariskan untukNya. Tapi tidak bisa.

Ia pun harus menjalaninya.

Ya, kehendak Bapa ternyata sering bukan berupa sesuatu pekerjaan yang menyenangkan untuk dijalankan. Tak heran, kita sering mengingkari dan melewatkannya. Lebih enak mengerjakan tugas sesuai dengan kesenangan, hobi, dan sesuatu yang menyenangkan diri kita daripada menjalankan kehendak Bapa.

Yang menyenangkan itu bisa berarti bukanlah yang dikehendaki Bapa. Bisa jadi itu tugas merawat orangtua kita yang sudah berumur lanjut (80 atau 90-an) yang sudah tidak bisa berjalan, rewel, badannya besar sehingga sulit dibopong, dan lain-lain. Pokoknya sangat merepotkan sehingga kalau ditinggal tidak mungkin. Padahal masa-masa inilah diri kita mestinya bisa santai, pensiun dari kerja bisa kunjungi anak dan cucu. Tapi kok malah mengurus nenek (orangtua saya).

Atau mungkin, kehendak Bapa itu berupa mengurus cucu-cucu yang ditinggalkan anak kesayangan yang pergi entah kemana. Padahal masa tua ini menjadi saat yang tepat untuk bersantai, berleha-leha atau senang-senang kesana kemari. Eh malah mengurus cucu dari usia remaja sampai dewasa.

Kehendak Bapa di sorga tentu saja beragam, sesuai dengan apa yang kita alami. Mungkin kita tidak menyadarinya. Dan panggilan itu biasanya meletakkan kita pada satu ketegangan, antara menjalaninya atau tidak. Sesuatu yang sering tidak mudah kita jalankan dengan gampang. Tapi harus kita jalani.

Namun, kita justru seperti para murid, yang lebih suka melarikan diri, meninggalkan Yesus sendirian saat ditangkap oleh para tentara di taman itu. Kita kerap mengabaikan dan menganggap kehendak Bapa itu sebagai beban yang tidak seharusnya menjadi tanggung jawab kita.

Leave a comment