Musuh Jiwa Itu Menyerang dari Dalam Diri


Perasaan jengkel yang baru saja menanjak di hatiku sekarang sudah mulai menurun ketika aku mulai menyadari bahwa tugas menjadi sekjen di komunitas merupakan bentuk latihan melayani bagiku. Karena itu jangan mudah merasa jengkel bila terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Itu hal biasa.

Tiba-tiba kesadaran yang muncul ketika aku mengepel lantai seperti biasa aku lakukan di pagi hari ini membuat aku seperti merasakan dejavu. Sebuah perasaan sama kualami puluhan tahun silam ketika aku masih kelas 0 di Seminari Menengah Mertoyudan.

Saat itu aku juga sedang mengepel lantai. Tentu saja beda banget situasinya. Lantai yang harus dipel lebih luas dan jauh, alat pel lebih berat, dan konteksnya pun berbeda sekali. Aku saat itu sedang menjalankan hukuman dari frater pamong karena pergi jalan-jalan keluar kompleks seminari tidak pamit.

Saat pulang, lucunya aku langsung lapor bahwa aku telah melakukan kesalahan dengan jalan-jalan tanpa izin itu. Hasilnya, aku disuruh mengepel lantai sepanjang 100-an meter lantai asrama dan diminta melakukan refleksi. Setelah selesai kemudian menuliskannya dan menyampaikannya ke frater.

Sebuah kesadaran yang menurutku menarik, kudapatkan dari pengalaman ini. Aku dulu bertanya mengapa ketika aku dan teman-teman seminari melakukan salah selalu disanksi sambil refleksi. Dan sanksi itu harus dijalani dengan menjalankan pekerjaan tangan semisal mengambil kotoran babi untuk pupuk, mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, dan masih banyak bentuk kerja lain lagi.

Dan kali ini saya menemukan kesadaran baru. Kerja tangan yang saya alami membuat pikiran langsung mengolah pengalaman yang dialami sebelumnya. Dalam kondisi netral, seperti yang aku lakukan di rumah. Saat kegiatan mengepel dilakukan bukan karena sanksi, pikiran juga langsung mengarah ke dalam diri, mengolah batin.

Saya tidak tahu apakah orang lain mengalami hal yang sama. Namun yang saya alami hal semacam sering terjadi. Aktivitas kerja sendirian, misalnya menyiram tanaman, membersihkan kamar mandi, mengepel lantai atau apa pun membuat saya langsung berpikir tentang diri sendiri, berefleksi, memeriksa batin, dan melakukan eksamen. Eksamen adalah pintu masuk menuju transformasi.

Kalau diperhatikan, sanksi yang diberikan frater saat itu sebenarnya bisa dalam bentuk lain. Misalnya tidak boleh tidur siang atau melakukan pekerjaan lain yang lebih akademis sifatnya karena kami kan masih pelajar. Namun, yang menarik sanksi yang diberikan selalu unik, berupa hukuman melakukan pekerjaan tangan yang kerap kali kita hindari atau tidak ingin kita lakukan. Itulah yang disebut agere contra.

Tentang Agere Contra ini, Santo Ignatius Loyola dalam Latihan Rohani menulis demikian; Karena itu, agar Sang Pencipta dan Tuhan benar-benar lebih dapat bekerja dalam makhluk-Nya, jikalau ternyata jiwa itu dengan tak teratur lekat atau cenderung akan sesuatu, sangat bergunalah baginya berusaha sekuat tenaga untuk menginginkan kebalikan dari hal yang dilekatinya dengan tak teratur tadi [LR 16]. Di sana ada aspek ‘tindakan’ sekuat tenaga dan aspek ‘kehendak’ mengingini yang berkebalikan dari kelekatan kita.

Bagi Bapa Ignatius, tujuan utama melakukan kebalikan dari yang kita sukai itu adalah untuk menaklukkan diri, mengatur hidup sedemikian sehingga tak ada keputusan diambil karena rasa lekat tak teratur [LR 21]. Kita diajak memiliki sikap lepas bebas mengabdi Allah sesuai tujuan diciptakan [LR 23].

Meditasi Panggilan Raja Abadi mengingatkan kita bahwa bila kita ikut dalam panggilan Sang Raja Abadi itu, yakni di bawah Panji Kristus, kita harus berani melawan diri. Mereka, yang mau lebih mencintai dan menjadi unggul dalam segala hal yang bersangkutan dengan pengabdian kepada Raja Abadi dan Tuhan semesta, tidak hanya akan mempersembahkan diri seutuhnya untuk berjuang, tetapi lebih lanjut bertindak melawan hawa nafsu, cinta kedagingan dan duniawi dalam dirinya,… [LR 97]. Ternyata, musuh jiwa kita, yakni iblis, bukan menyerang di luar diri, tetapi dari dalam diri.

Tuhan memberkati. Amin
abdisusanto2023

Leave a comment