Puasa Bagai Kontemplasi Mendapatkan Cinta


Semasa kecil saya masih ingat kisah-kisah masa lampau kenapa nenek moyang kita (dalam hal ini orang Jawa) menjalani laku tapa (bertapa) dan berpuasa. Kata mereka ngelmu iku kelakone kanti laku. Ilmu itu diperoleh melalui tirakat/laku. Bahkan, dengan laku puasa ini, katanya, nenek moyang kita menjadi sakti. Kesaktiannya ditunjukkan dengan kemampuannya berada di dua tempat, bisa terbang, menghilang, dan lain sebagainya.

Dikelilingi oleh orang-orang dengan berbagai budaya dan agama saya pun mengalami proses perkembangan pemahaman tentang puasa. Saat itu, ketika masih SD dan SMP, saya baru sadar, ternyata puasa merupakan kegiatan yang dilakukan oleh berbagai macam agama dan budaya. Hindu, Budha, Islam, Kristen, Kejawen, dan lain sebagainya.

Ada yang menyatakan bahwa ini merupakan kegiatan ibadah. Kegiatan dimana kita mesti menjalankan pembersihan diri karena kita harus mengumpulkan amal kebajikan di bumi ini. Sehingga dengan demikian, kelak saat kita mati, kita bisa layak masuk surga. Puasa merupakan bagian dari pengumpulan amal ibadah itu.

Sementara dalam ajaran katolik yang saya hidupi sejak lahir, puasa bukanlah sebuah kebiasaan yang luar biasa. Buktinya, saat masa prapaskah kewajiban itu hanya perlu dijalankan dua kali saja, saat rabu abu dan jumat agung. Selebihnya di masa prapakah (masa puasa) 40 hari jelang paskah, kita hanya menjalankan pantang saja. Itu pun meski disebutkan wajib ini dan wajib itu, banyak yang menjalankan sekadarnya. Tidak seperti yang dijalankan oleh teman-teman muslim.

Meski begitu, saya sudah mulai belajar puasa saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu. Saat itu, saya masih ingat bahwa saya harus makan satu kali kenyang dalam sehari. Maka, saya menjalankannya hingga menunggu tengah malam, baru saya makan. Mungkin terdengar agak lucu, tapi itulah pertama kali saya mencoba menjalankan puasa, mengenal yang disebut mati raga (salah satu bentuknya).

Kemudian dalam perjalanan waktu, saya belajar berpuasa dan berpantang sebagai upaya menegasi diri (agere contra). Kalau saya senang menonton televisi dengan durasi berlebihan, maka saya akan menguranginya. Kalau saya senang makan es, maka saya akan mencoba tidak memakannya. Kalau saya senang ngrasani (membicarakan orang alias gosip), maka saya menghentikan kecenderungan itu.

Lalu perkembangan selanjutnya, dalam memahami makna puasa, saya menjalankan puasa untuk menebus kesalahan. Entah kesalahan saya, orang terdekat seperti ibu atau istri saya atau dunia ini. Saya berprihatin dengan cara berpuasa agar ibu, istri atau siapa saja diampuni dosa dan kesalahannya. Maka saya mengintensikannya untuk itu. Selanjutnya puasa dan pantang saya hayati sebagai satu bentuk solidaritas pada orang miskin dan berkembang lagi dengan intensi agar menjadi seperti Yesus Kristus.

Berikutnya, pemahaman tentang puasa ini semakin berkembang dan makin terasa menarik. Saya menyadari bahwa manusia adalah mahkluk spiritual, secitra dengan Tuhan. Manusia, karena hidup di bumi (dalam kedagingan) harus mengarahkan diri pada posisi sebagai citra itu. Tantangannya berat sekali karena masih ada nafsu (sombong, rakus, seks, aluamah/doyan makan, nafsu pada kekuasaan/kemuliaan, dll). Karena itu, puasa, sedekah merupakan langkah (cara) manusia agar bisa secitra dengan Tuhan.

Manusia harus berupaya agar dirinya bisa menjadi sempurna seperti Tuhannya. Seperti kata Yesus, “Sebab itu hendaklah kamu ini sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya.” (bdk. Matius 5:48).

Puasa, saat ini saya pahami sebagai upaya saya agar saya semakin seperti Bapa di surga. Puasa itu latihan bagi roh saya. Latihan ‘menanggalkan’ ego, nafsu rendah/duniawi, kemalasan. Dan dalam bacaan pertama Yesaya 58:1-9a, “Berpuasa, yang Kukehendaki, ialah engkau harus membuka belenggu-belenggu kelaliman.”

Puasa, kata Santo Ignatius Loyola, merupakan bentuk latihan rohani bagi jiwa. Dalam kegiatan puasa ada sikap merendahkan diri, sikap menghindari keserakahan dalam bentuk apa pun (makanan, kuasa, dll). Juga ada sikap menjadi bagian dari semesta ini, merangkul siapa saja, memeluk siapa saja, dan mencintai siapa saja.

Puasa dengan demikian juga merupakan langkah kontemplasi untuk mendapatkan cinta. Di dalam puasa itu, kesadaran kita adalah bagian kecil dari seluruh umat manusia, debu yang rapuh, yang sering mendambakan kasih menjadi semakin kentara. Maka, dalam kesadaran itu, kita mengharapkan agar cinta dari Yang Maha Kasih semakin merasuki kita, makhluk yang miskin cinta kasih ini. Dengan demikian kita mampu mencintai siapa saja dan apa saja.

Tuhan memberkati. Amin

Leave a comment